Saturday, 23 March 2013

MANAJEMEN PERUBAHAN - PENCIPTAAN POSISI BARU BAGI TANTANGAN BARU (Contoh Kasus "Levis Strauss and Company")



Maksud dari “Penciptaan posisi baru bagi tantangan baru adalah merupakan tindakan bagian dari manajemen perubahan yang mana suatu organisasi membentuk suatu unit organisasi baru dengan jabatan baru untuk mengatasi perubahan yang terjadi ataupun mengantisipasi perubahan-perubahan yang akan terjadi dimasa akan datang akibat pengaruh lingkungan eksternal perusahaan tersebut.  Dengan mengangkat CEO baru yang dapat menjadi pemimpin perubahan tersebut  akan dapat mengelola perubahan secara efektif dan melakukan perubahan-perubahan alam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan bersama. Seseorang yang memimpin perubahan tersebut mungkin harus merubah kinerja perubahan tersebut dengan maksud untuk memberikan dukungan yang lebih efektif. Dan perubahan ini akan mempengaruhi terjadinya perubahan kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya. Perubahan tersebut untuk dapat bersaing secara efektif atau lebih baik lagi, menciptakan posisi baru yang meningkatkan kebutuhan untuk bersaing.
Perubahan harusnya dimulai dengan sebuah obsesi besar untuk menjadi lebih efisien dan efektif, atau tepatnya, dengan sebuah motivasi besar untuk berkinerja lebih baik. Di mana untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik itu dibutuhkan daya saing yang kuat, agar bisnis bisa bertumbuh dan menghasilkan keuntungan yang optimal. Perubahan yang tepat sasaran akan membuat perusahaan mampu menghadapi kompetisi pasar dengan kemenangan.
Perubahan yang sukses mensyaratkan jalur yang tepat dengan situasi khusus yang melingkupi organisasi. Sementara menurut Pettigrew dan Whipp dalam laporan penelitian perusahaan-perusahaan Inggris yang bergerak di empat sektor industri: Salah satu ciri utama perusahaan yang diteliti adalah bahwa agar sukses berkompetisi, manajemen perubahan operasional dan stratejik mesti mengantisipasi sifat dari prosesnya yang tidak pasti dan emergent.
Menurut Strebel para pemimpin perubahan tak bisa begitu saja mengambil resiko dengan membabi-buta menerapkan sebuah resep perubahan baku dan lalu mengharapkan suksesnya perubahan.  Jika perusahaan hendak merespon dan mengelola perubahan dengan sukses, maka diperlukan kemampuan mendiagnosa situasi perubahan. Namun, mendiagnosa situasi oganisasi bukanlah ilmu pasti. Meski demikian, ada beberapa metode dan teknik yang bisa membantu pendiagnosaan ini. Contohnya, model Greiner tentang daur hidup perusahaan merupakan teknik praktis untuk mengenali saat yang tepat kapan diperlukan perubahan organisasi. Selain itu, ada sejumlah teknik perencanaan strategis (contohnya, analisa stakeholder, SWOT dan PETS), dimana penerapannya dapat mengarah pada rencana perubahan. Khususnya, analisa kekuatan dan kelemahan perusahaan serta peluang dan ancaman (SWOT) atas perubahan lingkungan menyadarkan kita tentang perlunya dilakukan incremental change berkelanjutan dan sekaligus menghindarkan diri dari proses strategic drift.
Contoh kasus Levis Strauss and Company mengambil keputusan untuk lebih fokus kepada peluang-peluang pendapatan global, perusahaan menciptakan posisi-posisi baru dalam perusahaannya yaitu wakil presiden pemasaran global. Wakil presiden pemasaran global menyusun sebuah tim pemasaran global yang terdiri dari enam orang untuk anggota tim tersebut dengan misi adalah menyampaikan gagasan-gagasan produk baru dan iklan yang mencangkup seluruh bagian Levis Strauss and Company untuk memperoleh sinergi di semua unit organisasinya. Hasil tim tersebut adalah memutuskan hubungan kerja dengan beberapa agen iklan yang tidak sesuai dengan keinginan perusahaan serta membangun web bagi perusahaanny untuk menarik perhatian para konsumennya.
Kita mengetahui bahwa ada 3 perubahan terdiri dari 3 tipe yang berbeda, dimana setiap tipe memerlukan strategi manajemen perubahan yang berbeda pula.  Tiga macam perubahan tersebut adalah:
(1)   Perubahan Rutin, dimana telah direncanakan dan dibangun melalui proses organisasi;
(2)  Perubahan Peningkatan, yang mencakup keuntungan atau nilai yang telah dicapai organisasi;
(3)    Perubahan Inovatif, yang mencakup cara bagaimana organisasi memberikan pelayanannya.
Dalam kasus Levis Strauss and Company telah melakukan 3 hal perubahan tersebut diatas dan yang paling dominana adalah perubahan inovatif dengan mengangkat CEO baru untuk memberikan pelayanan kepada konsumennya dan meningkatkan periklanannya secara efektif agar meningkatkan pendapatan perusahaan.

Friday, 22 March 2013

MENGATASI STRES KERJA



Sebelumnya telah dibahas mengenai stres kerja yang dapat timbul dari lingkungan, organisasi, dan individu, dan kita akan mencoba membahas mengenai mengurangi, mengatasi dan menghadapi stres tersebut.
Keith Davis dan John W. Newstrom, (Mangkunegara, 2005:28-29) mengemukakan bahwa “Four approaches that of ten involve employee and management cooperation for stress management are social support, meditation, biofeedback and personal wellness programs, ada empat pendekatan terhadap stres kerja yakni sebagai berikut:
a.   Pendekatan dukungan sosial,  dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada karyawan, misalnya bermain game dan bercanda;
b.    Pendekatan biofeedback,  dilakukan melalui bimbingan medis yakni melalui bimbingan dokter, psikiater, dan psikolog, sehingga diharapkan karyawan dapat menghilangkan stres yang dialaminya;
c.   Pendekatan kesehatan pribadi,  merupakan pendekatan preventif  sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini karyawan secara periode waktu yang kontinyu memeriksa kesehatan, melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi, dan olahraga secara teratur;
d.  Pendekatan meditasi, dilakukan melalui penenangan pikiran, dzikir, dan olah raga pernafasan.
Menurut T.D. Jick dan R. Payne (Basalamah, 2004), ada tiga cara pokok yang dapat digunakan untuk menghadapi stres, yaitu:
a. Memperlakukan symptom dari stres, yakni cara ini dapat membantu orang yang mengalaminya, misalnya dengan menyediakan konsultasi, dan sebagainya.
b.   Ganti orang yang mengalami stres, yakni dengan  mengurangi kerentanan serta agar lebih baik dalam bereaksi atau mengalami stres. Cara ini disebut pula dengan istilah self-management of stres, yang antara lain meliputi senam kebugaran, diet, pengelolaan waktu yang lebih baik, dukungan dari keluarga, kolega atau dukungan sosial, dan sebagainya.
c.  Ganti atau hilangkan faktor-faktor yang menimbulkan stres, yakni untuk menghilangkan, melemahkan atau mengganti faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres, misalnya dengan mengurangi kebisingan, polusi, dan sebagainya.
Setelah kita mengetahui bagaimana menghadapi stress, maka stres dapat dikurangi, yaitu dengan cara:
a.         Mengurangi stres secara Individual, yakni strategi yang dikembangkan secara pribadi atau individual. Strategi individual ini bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
  1. Dengan olahraga, diet dan cukup tidur, strategi ini meliputi olahraga, memperhatikan diet dan nutrisi, tidur secara cukup, berlibur, dan sebagainya.
  2. Mengubah perilaku dan reaksi kognitif yang bersangkutan terhadap stres
  3. Mencari dukungan sosial, yang dapat berperan sebagai tameng dalam menghadapi pengaruh stres. Dengan cara ini orang yang bersangkutan dapat menceritakan persoalannya dan tidak tertutup kemungkinan orang tersebut akan memberikan jalan keluar kepadanya.
  4. Mengatur waktu (time management), dapat dilakukan dengan cara: memprioritaskan aktivitas, mengalokasikan waktu secara realistis dan jangan membiarkan pihak lain menginterfensi waktu kita agar kita sepenuhnya dapat mengendalikan waktu kita.
b.        Mengurangi stres secara Organisasional, cara yang biasa ditempuh oleh organisasi untuk mengurangi intensitas stres pegawai antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Pemilihan, penempatan serta pendidikan dan pelatihan pegawai
  2. Mengadakan program kebugaran bagi pegawai
  3.  Mengadakan konsultasi bagi karyawan perusahaan
  4. Mengadakan komunikasi organisasional secara memadai
  5. Dengan memberikan kebebasan bagi pegawai untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan.
  6. Dengan mengubah struktur organisasi, fungsi dan/atau dengan merancang kembali pekerjaan yang ada (job redesign).  
  7. Dengan menggunakan sistem pemberian imbalan tertentu.
Mangkunegara (2005: 29-30) menyatakan bahwa mendeteksi penyebab stres dan bentuk reaksinya, ada tiga pola dalam mengatasi stres tersebut yaitu:
a.   Pola sehat,  adalah pola menghadapi stres yang terbaik, yaitu dengan kemampuan mengelola perilaku dan tindakan sehingga adanya stres tidak menimbulkan gangguan, akan tetapi menjadi sehat dan berkembang. Mereka yang tergolong kelompok ini biasanya mampu mengelola waktu dan kesibukan dengan cara yang baik dan teratur sehingga ia tidak perlu merasa ada sesuatu yang menekan meskipun sebenarnya tantangan dan tekanan cukup banyak.
b.   Pola harmonis, adalah pola menghadapi stres dengan kemampuan mengelola waktu dan kegiatan secara harmonis dan tidak menimbulkan berbagai hambatan. Dalam pola ini, individu mampu mengendalikan berbagai kesibukan dan tantangan dengan cara mengatur waktu secara teratur. Ia pun selalu menghadapi tugas secara tepat, dan kalau perlu ia mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain dengan memberikan kepercayaan yang penuh. Dengan demikian akan terjadi keharmonisan dan keseimbangan antara tekanan yang diterima dengan reaksi yang diberikan. Demikian juga terhadap keharmonisan antara dirinya dan lingkungan.
c.   Pola patalogis, adalah pola menghadapi stres dengan berdampak berbagai gangguan fisik maupun sosial-psikologis. Dalam pola ini, individu akan menghadapi berbagai tantangan dengan cara-cara yang tidak memiliki kemampuan dan keteraturan mengelola tugas dan waktu. Cara ini dapat menimbulkan reaksi-reaksi yang berbahaya karena bisa menimbulkan berbagai masalah yang buruk.

Monday, 18 March 2013

KOMPETENSI KEPEMIMPINAN



Ada yang berpendapat bahwa kepemimpinan dapat diajarkan dan dilatih, dan bukan didapat sejak dari lahir. Hal ini sering diperdebatkan, dan secara ilmiah telah dibuktikan pada banyak survey bahwa dengan pelatihan dan dalam iklim yang menunjang, seseorang dapat berkembang dan menjadi seorang pemimpin dan kebanyakan orang harus berjuang pada kepekaan tentang kepemimpinan itu sendiri dan menjadi kompeten melalui latihan dan pengalaman.
Prof. Dr. M.H. Matondang, SE, MA dalam bukunya menyatakan ada 10 jenis kecerdasan yang dapat dipelajari oleh calon pemimpin terutama dalam menghadapi abad 21 yaitu pemimpin yang memiliki ”Multi Intelligent”. Hal ini tercermin dari mutu kepemimpinannya yang memiliki sikap, perilaku, tindakan serta hati nuraninya menjadi lebih baik dan benar karena dia mampu menggunakan berbagai jenis kecerdasan seperti: (1) Kecerdasan Tradisional (IQ) maka dia dapat berpikir baik, (2) Kecerdasan Emotional-EQ (Good Loving), (3) Kecerdasan Ragawi (Good Acting), dan (4) Kecerdasan Spiritual (SQ) pemimpin yang memuliakan Tuhan ”. [1]  Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994), dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin terasa kompleks dan akan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensi kepemimpinan berupa conception yang  tepat, competency yang cukup, connection yang luas, dan confidence.
Menurut Bennis dan Burt Nanus (1985) bahwa kompetensi kepemimpinan berupa “the ability to manage” dengan attention (vision), meaning (communication), trust (emotional glue), and self (commitment, willingness to take risk),  sedangkan menurut Peter F. Drucker, pemimpin seharusnya memiliki minimal 3 bidang kemampuan/kompetensi yaitu:
  1. Kemampuan pribadi, memiliki integritas tinggi, memiliki visi yang jelas, intelegensia tinggi, kreatif dan inovatif, tidak mudah merasa puas, fleksibel dan memiliki kematangan jiwa, sehat jasmani dan rohani, wibawa dan kharismatik, mempunyai idealisme dan cinta tanah air.
  2. Kemampuan kepemimpinan (Leadership Mastery), memiliki kemampuan memotivasi orang lain, membuat keputusan yang cepat dan tepat, mempengaruhi orang lain, mengelola konflik, berorganisasi, memimpin tim kerja, mengendalikan stress dan keterampilan berkomunikasi.
  3. Kemampuan berorganisasi (Organizational Mastery), yang memiliki kemampuan mengembangkan organisasi, manajemen startegik, meraih peluang, mengadakan pengkaderan generasi penerus , memahami aspek makro dan mikro ekonomi dan keterampilan operasional.[2]
Kadar kompetensi kepemimpinan seseorang dapat dipelajari melalui 4 (empat) tingkatan kemampuan yaitu: tingkat pertama, yaitu seseorang tidak memiliki pengetahuan banyak tentang kopentensi kepemimpinan, dan tidak peka untuk mengembangkan kompetensi tersebut, mungkin karena mereka tidak pernah mencoba menjadi pemimpin, tingkat kedua, yaitu seseorang menjadi sadar apa yang diperlukan untuk mengerjakan sesuatu secara baik, tetapi masih merupakan kompetensi yang masih bersifat personal. Dengan berlatih seseorang akan lebih peka dan sadar tentang hal yang benar juga penting dilakukan untuk kemudian secara gradual diubah menjadi kompetensi kepemimpinan, tingkat ketiga, yaitu kepemimpinan atau kompetensi akan sesuatu hal menjadi suatu kenikmatan yang sempurna. Anda akan menerima feed back positif dari kemampuan skill dan kepekaan tentang seberapa baik keadaan seseorang yang akan segera berlanjut ke tingkat empat, dan (4) tingkat keempat, yaitu kemampuan kepemimpinan atau skill menjadi bagian diri seseorang dan akan tampak secara alami. Seseorang yang yang dilahirkan dari pada bagaimana ia dibentuk atau bahwa seseorang pemimpin alami, itu berarti orang tersebut dapat langsung beroperasi menjadi pemimpin tanpa melalui tahap 3.
Dari penjelasan di atas, kita dapat diketahui pada tingkat berapa kompetensi kepemimpinan seseorang berada, dan yang paling terpeting bahwa seorang ”Pemimpin” seharusnya memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin diri yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan, mampu sebagai pendidik bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan selalu siap melayani. Disamping itu harus memiliki kemampuan pribadi, kemampuan kepemimpinan dan kemampuan berorganisasi  dengan mutu kepemimpinannya yang memiliki sikap, perilaku, tindakan serta hati nuraninya dengan kemampuan IQ, IE, SQ dan kecerdasan ragawi.


[1] Prof. Dr. M.H. Matondang, SE, MA, Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan Manajemen Stratejik, hal.  4.
[2] Prof. Dr. M.H. Matondang, SE, MA, Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan Manajemen Stratejik, hal.  19.